Senin, 08 November 2010

In Memoriam Asmara Nababan


Demokrasi Sebagai Janji
In Memoriam Asmara Nababan

Pada akhirnya Bang As -- begitu biasa kami memanggil Asmara Nababan -- menyerah. Di Guang Zhou, China, ia menghembuskan nafas terakhir pada hari Sumpah Pemuda setelah bergulat dengan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Ia sudah "menyelesaikan pertandingan dengan baik", memakai istilah Paulus, dan kembali ke rumah Bapa yang sangat dicintainya.

Sulit sekali bagi saya menuliskan kenangan tentang Bang As. Dibanding banyak sahabatnya, saya termasuk orang yang tidak terlalu dekat dengannya. Selalu ada jarak di antara kami, karena saya melihat dia lebih sebagai figur panutan yang saya kagumi dari jauh. Apalagi sepak terjangnya sebagai Sekjen Komnas HAM. Di tangannya, lembaga yang pernah dicibir karena didirikan oleh pemerintahan rezim Soeharto itu, justru berkibar dan menjadi mercu suar perjuangan hak-hak asasi manusia.

Hanya sesekali kami berjumpa di forum diskusi, atau saat menyuarakan sikap menghadapi kasus-kasus tertentu. Dan selalu saya mengambil jarak, mengagumi dari jauh lontaran gagasan maupun ketajaman pikirannya, apalagi integritas pribadinya.

Terus terang, saya tidak berani terlalu mendekat, apalagi berdiri sejajar dengannya. Ia memang sosok idola saya, sama seperti almarhum Eka Darmaputera, Th. Sumartana, Gus Dur, Romo Mangun, Pramoedya maupun Soedjatmoko. Pada setiap pribadi itu, saya seakan menemukan jejak-jejak evolusi peradaban yang membingkai proses meng-Indonesia yang belum selesai. Setiap pribadi adalah tonggak penanda, sekaligus "janji" bahwa Indonesia sebagai cita-cita masih sangat layak diperjuangkan.

Asmara pantas disejajarkan dengan mereka. Pengabdiannya yang tulus bagi perjuangan HAM, dan integritas pribadinya, meninggalkan jejak sekaligus tolok ukur sampai sejauh mana pemuliaan martabat manusia Indonesia sudah diupayakan. Ketegasan komitmen dan pengabdian tanpa pamrih yang dijalani seumur hidupnya merupakan saksi sejarah yang tak dapat dihapus.

Kami mulai dekat dan sering bertukar pikiran semenjak Bang As meminta saya ikut mengelola DEMOS. Pengalaman itu membuat saya sadar bahwa DEMOS bukanlah sekadar lembaga, tetapi menjadi kristalisasi dari seluruh keprihatinan Bang As selama ini: DEMOS merupakan pertaruhan paripurnanya! Karena dalam lembaga inilah, dua jalinan penting yang memintal kehidupan dan perjuangannya menggumpal: Demokrasi dan HAM.

Dan keduanya, seperti berulang kali ia tegaskan, tidak boleh dipisahkan. Demokrasi tanpa penghormatan terhadap HAM akan dengan sangat mudah menjadi tirani mayoritas di mana "the winner takes all", dan menafikan kelompok-kelompok minoritas yang rentan. Karena itu, perjuangan bagi demokrasi pada dasarnya merupakan perjuangan demi penegakkan hak asasi manusia, bukan sekadar utak-atik prosedur, mekanisme maupun jumlah suara. Dan ini, pada gilirannya, mengandaikan keterlibatan masyarakat (yakni "demos", δῆμος) yang sadar akan hak-haknya dan memiliki kemampuan serta mau memperjuangkannya demi kemashalatan bersama.

Saya kira, itulah warisan terakhir Bang As yang paling berharga. Di tengah hiruk pikuk transisi demokrasi di mana ia terlibat penuh, figur Asmara Nababan menjulang seperti tonggak peringatan bahwa proses demokratisasi tidak akan bermakna jika tidak mampu menciptakan ruang bagi penghormatan terhadap martabat manusia. Itulah titik uji demokrasi yang sesungguhnya, bukan soal hitung cepat atau perolehan suara sesaat yang kerap bersifat ilusif.

Demokrasi, meminjam istilah Jacques Derrida, selalu merupakan "janji" yang mengundang kita untuk terus menerus berusaha menghadirkannya, sekaligus sadar bahwa "janji" itu selalu mrucut dari genggaman kita. Pergulatan dan perjuangan tanpa letih Asmara memperlihatkan bagaimana "janji" itu sungguh hidup dalam sanubari kita sebagai bangsa yang selalu sedang menjadi, dan karenanya selalu menerbitkan harapan.

Selamat jalan, Bang. Selamat beristirahat. Terima kasih karena engkau sudah menunjukkan wajah "janji" itu bagi kami untuk dijalani.

Senin, 11 Oktober 2010

Poem

Love (III)
BY GEORGE HERBERT

Love bade me welcome, yet my soul drew back,
Guilty of dust and sin.
But quick-ey'd Love, observing me grow slack
From my first entrance in,
Drew nearer to me, sweetly questioning
If I lack'd any thing.

"A guest," I answer'd, "worthy to be here";
Love said, "You shall be he."
"I, the unkind, ungrateful? ah my dear,
I cannot look on thee."
Love took my hand, and smiling did reply,
"Who made the eyes but I?"

"Truth, Lord, but I have marr'd them; let my shame
Go where it doth deserve."
"And know you not," says Love, "who bore the blame?"
"My dear, then I will serve."
"You must sit down," says Love, "and taste my meat."
So I did sit and eat.


Betapa sering jejak-jejak-Nya tak lagi dapat dicandra di tengah kegelapan malam dan rasa galau menyiksa. Tetapi Suara itu, yang lembut berkata, "Duduklah dan kecaplah Tubuh dan Darah-Ku" membuat saya sadar, Ia tidak pernah pergi meninggalkan saya seorang diri menziarahi hidup. Maka saya pun duduk, dan menyambut Tubuh dan Darah-Nya lagi. Tuhanku, Allahku. Sahabatku, Kekasihku."Tuhanku / di pintu-Mu aku mengetuk / aku tak bisa berpaling." (Chairil Anwar)

Mengharapkan Dua Mukjizat

Catatan ini saya buat di tengah rasa gundah dan kebimbangan yang menggalaukan hati. Boleh jadi, menuliskannya seperti mendaraskan doa sembari mempertaruhkan iman dan harapan bahwa mukjizat memang masih mungkin terjadi.

Sebab perkembangan situasi akhir-akhir ini sungguh membuat hampir seluruh asa putus. Impian tentang "proyek-bersama" yang bernama Indonesia sedang digugat sampai ke akar-akarnya. Serangkaian kekerasan yang terus terjadi, praktik-praktik intoleran yang makin meluas, dan bahkan "politik segregasi" yang mulai menampakkan wajah konkretnya, sungguh menimbulkan tanya tanpa jawaban: apakah Indonesia sebagai rumah bersama semua kelompok, apapun perbedaannya, masih mungkin dibangun?

Berita hari ini dari MetroTV News, misalnya, membuat saya terperangah. Sekitar 50 keluarga, warga Ahmadiyah, yang dipaksa jadi pengungsi di negara sendiri --saya ulangi: pengungsi di negara sendiri!-- di Lombok Barat akan direlokasi di sebuah pulau oleh pihak Pemda. Bagaimana kebijakan semacam itu dapat terbayangkan di dunia sekarang, dunia yang justru sudah meruntuhkan batas-batas antar-bangsa dan bahkan antar-negara? Bukankah ini bentuk konkret dari politik dan praktik segregasi yang hanya dilakukan oleh kelompok fasis, entah dulu oleh rezim Hitler-Nazi maupun sekarang oleh pemerintah Israel terhadap Palestina? Untuk apa negara dengan seluruh aparatusnya ada jika tidak dapat menjamin kehidupan-bersama antar-kelompok masyarakat, dan bukan malah memisahkannya?

Berita itu sungguh menggelisahkan saya, sebab yang dipertaruhkan secara radikal adalah cita-cita maupun peluang bagi masyarakat majemuk yang menjadi proyek-bersama Indonesia. Memang saya tidak terkejut bahwa gagasan politik segregatif itu akhirnya mencuat ke permukaan. Kajian saya tentang politik perukunan rezim Orde Baru membuat saya sadar, ujung paling jauh dari politik perukunan itu adalah kebijakan segregatif. Tapi melihat perkembangan sekarang, rasanya hanya mukjizat Ilahi yang masih memungkinkan ke-Indonesia-an dibangun.

Pada saat bersamaan, saya juga berdoa memohon mukjizat kedua untuk sahabat, rekan, guru, maupun figur panutan yang selama ini saya hormati: Asmara Nababan. Sudah sejak beberapa tahun terakhir, ia bergulat dengan kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya. Operasi yang dijalani sekitar dua tahun lalu tidak mampu memberantas kanker yang bersarang, dan malah merangsang pertumbuhannya. Kini kanker itu menyebar ke seluruh tubuhnya yang makin rapuh.

Di antara banyak sahabatnya, saya termasuk orang yang tidak terlalu dekat dengan Asmara. Kami mulai agak intensif berinteraksi, bertukar pikiran, dan bekerja sama sejak saya diminta masuk menjadi anggota Badan Pengurus DEMOS. Tapi sudah lama saya mengagumi sepak terjang, dedikasi dan keberaniannya memperjuangkan proyek-bersama Indonesia. Dialah yang meyakinkan saya bahwa jalan demokrasi akan sia-sia jika tidak dilandaskan pada kontrol konkret warga yang sadar ("demos") serta penghormatan pada hak asasi manusia, dua gagasan yang kini kental mewarnai cara pandang saya.

Siang tadi, bersama teman-teman DEMOS, saya menjenguk Asmara di RS Gading Pluit. Rencananya, Selasa pagi --jika kondisinya memungkinkan-- ia akan terbang ke Guangzhou, Cina, guna menjalani terapi. Tetapi melihat kondisinya, saya masygul dan menjerit dalam hati. Hanya mukjizat-Nya yang kini dibutuhkan. Sebab saya sadar, jika dilihat dari kondisi fisik saja, sungguh sulit Asmara mampu melewati pergulatan kali ini. Satu hal yang membuat saya menangis adalah melihat semangat hidup dan dedikasinya pada DEMOS. Ia masih sempat mengingatkan saya untuk rapat Badan Pengurus akhir bulan ini!

Karena itu saya berdoa dan mempertaruhkan iman serta harapan bahwa mukjizat-Nya memang masih mungkin terjadi. Bagi Indonesia, maupun bagi Asmara Nababan. Tetapi biarlah rencana-Nya saja yang jadi.

Jumat, 01 Oktober 2010

Teroris

Kemarin pagi, sebuah bom meledak di dekat pasar Sumber Arta, Kalimalang. Tampaknya bom yang dibawa korban (inisial An.AH, 38 tahun) tak sempat ia ledakkan, entah dengan sasaran apa, tapi keburu meledak dan melukai dirinya sendiri. Korban masih dalam perawatan intensif. Semoga, jika ia sembuh, banyak misteri bisa dikuak. (Ia akhirnya meninggal siang hari, menutup semua misteri dibalik bom rakitan tersebut.)

Tapi yang memukul saya adalah pesan yang ditinggalkan korban dalam secarik kertas. Menurut TempoInteraktif, lelaki itu menulis di secarik kertas: "Ini adalah pembalasan pada kalian sekutu-sekutu setan, membunuh, menghukum mati dan menahan mujahidin. Kami siap mati untuk agama mulia ini."

Apa yang sesungguhnya terjadi dengan bangsa ini? Apa yang sebenarnya sedang berlangsung, baik pada tataran sosial-politik yang luas, maupun pada psykhe orang itu? Siapa itu "sekutu-sekutu setan"? Dan mengapa "agama mulia" butuh pembelaan sampai dengan mengorbankan diri sendiri?

Saya benar-benar merasa bingung. Bangsa ini sudah berjalan ke arah jalan yang tidak lagi dapat dipahami oleh akal sehat.

Kamis, 09 September 2010

Di Seberang Senja

Ini tulisan lama yang pernah saya posting di tempat lain. Saya menulisnya ketika ayah menyelesaikan peziarahannya di dunia ini, dan mencapai Sang Misteri yang tak terpermanai. Sengaja saya taruh di sini, sebagai penanda bahwa kita masih berjalan, menyusuri kelak-kelok kehidupan yang serba misterius, menjalani dari satu ambang batas ke ambang batas berikutnya...
===
Di seberang senja...


Dulu Chairil Anwar pernah berujar dalam salah satu sajaknya, "Hidup adalah menunda kekalahan..." Mungkin dia benar, jika dilihat dari sudut pandang kematian. Bukankah sang Maut selalu menanti di ujung perjalanan hidup? Dan kita semua tidak pernah dapat mengelakkannya--apalagi mengalahkannya?

Hari-hari terakhir ayah saya menceritakan hal lain. Hidup baginya bukan menunda kekalahan, tetapi menunda saat agar dia, pada titik terakhir, dapat berkata, seperti Yesus di ujung hidupnya, "Sudah genap!" Pegalaman menemani saat-saat terakhir kehidupannya sungguh bermakna bagi saya. Ijinkan saya membaginya pada Anda. Siapa tahu bisa berguna.

Ayah menghabiskan sisa-sisa terakhir hidupnya di Panti Werdha Kristen "Hana", di daerah Kedaung, Ciputat. Itu memang pilihannya sendiri, setelah tahu betapa sulit jika dia tinggal entah bersama saya atau kakak saya. Perbedaan generasi yang sangat jauh, terutama dengan anak-anak kami, terbukti sangat sulit dijembatani, dan banyak menimbulkan salah paham yang menyakitkan. Suatu waktu, kami menyarankan tempat di PWK "Hana" padanya. Dengan seketika ia menyukai tempat itu. Di sana, selain perawat yang selalu siap sedia setiap saat, dia dapat bertemu dan ngobrol tentang masa lalu bersama orang-orang yang seusia dengannya. Dan itulah yang sangat dibutuhkannya: orang yang tidak hanya mau mendengar kisahnya, tetapi juga ikut serta dalam banyak peristiwa di masa lampau yang ia alami. Sejak saat itu dia tidak lagi mau pulang ke rumah kami, sebab dia telah menemukan komunitasnya dan, serentak dengan itu pula, "dunia" yang pernah ia kenal sebelumnya.

Akhir Februari lalu, ayah jatuh tergelincir. Pangkal pahanya retak. Kami berkonsultasi dengan dokter, apakah dia perlu dioperasi. Dokter menyarankan tidak. Usianya sudah terlalu lanjut, sehingga tindakan medis apapun--apalagi operasi!--tidak akan banyak membantu, bahkan dapat membahayakan jiwanya. Sejak itu ayah harus terbaring di ranjang, dan perlahan-lahan kondisi tubuhnya melemah. Awal Juli lalu kami harus membawanya ke RS Bintaro untuk mendapat transfusi darah, karena Hb-nya turun drastis. Sejak saat itu kami sadar, hari-hari akhir ayah sudah semakin dekat.

Dua minggu lalu ayah mengalami krisis. Nafasnya sesak, dan dia tidak mau makan. Dokter harus memasang selang bantu agar ia dapat makan. Ketika saya mengunjunginya, saya melihat tubuhnya yang dulu besar dan kekar (waktu saya kecil, ia sering menggendong saya) semakin keriput, hanya tersisa tulang belulang dan banyak luka di bagian belakang tubuhnya karena harus berbaring lama. Saya seperti melihat orang lain, bukan ayah yang pernah saya kenal. Tubuh itu sudah sedemikian rapuh, tergeletak tanpa daya dan tenaga di ranjang. Hati saya menjerit, "Tuhan, jika memang sudah saatnya, semoga itu semua berjalan tanpa harus melalui penderitaan yang panjang." Saya berbisik padanya, bahwa semua anak dan cucunya akan berkumpul tanggal 6 Agustus nanti untuk berdoa baginya. Ia mengangguk lemah.

Hari Minggu, tanggal 6 Agustus, kami menepati janji. Kami semua--anak-anak, cucu, saudara, menantu, dan lainnya--berkumpul di ruang tempat ayah dirawat, membuat ibadah sederhana. Ayah hampir tidak lagi dapat mengenali kami semua. Ia bahkan tidak lagi mampu ikut menyanyikan lagu gereja yang sangat disukainya. Pandangannya menerawang jauh, seakan-akan melihat dunia di seberang sana. Selesai berdoa, saya berbisik padanya: "Ayah, jika saatnya sudah tiba, pergilah dalam damai. Pergilah, karena ayah nanti akan bertemu kembali dengan Ibu dan Sri Ekawati. Kami semua sudah siap dan merelakan ayah kembali pada Tuhan." Saya melihat matanya basah. Mungkin ia menangis. Mungkin cuma karena keringatnya saja.

Senin sore, 7 Agustus, tepat 24 jam setelah ibadah itu, ayah tertidur lelap dan tidak bangun lagi. Ia sudah pergi, menjalani perjalanan lain menuju Penciptanya--perjalanan yang masih dan akan selalu menjadi misteri bagi kita, manusia yang terikat ruang dan waktu ini.

Saya yakin, ayah hanya menantikan saat-saat terakhir itu: ibadah yang menandai kerelaan kami, anak-anaknya, untuk membiarkan ia pergi mengarungi perjalanan baru menuju Penciptanya. Saya tidak tahu persis apakah dia akan bertemu lagi isterinya dan Sri Ekawati, kakak perempuan saya--dua orang yang sangat dicintainya, yang sudah lama mendahului dia--di dunia di seberang sana yang selalu merupakan misteri bagi kita. Mungkin memang begitu. Mungkin juga tidak. Sesungguhnya tidak ada satu orang pun yang tahu pasti. Tetapi gagasan bahwa ada pertemuan kembali di dunia seberang sana--the world beyond the sunset, kata sebuah syair lagu gerejawi--bisa menjadi sumber penghiburan yang sangat dibutuhkan, agar kematian--dan karenanya juga: kehidupan!-- tidak lagi absurd. Agar kehidupan tidak lagi sekadar "menunda kekalahan". Konon, karena alasan yang sama, kata Nietzsche, orang Yunani membuat "Tragedi".

Yang jelas, saat-saat terakhir hidup ayah bukanlah "menunda kekalahan", tetapi suatu penundaan sesaat agar dia dapat berkata, di ujung hidupnya, "Sudah genap!"

Selamat jalan, ayah. Semoga, suatu waktu, kita berjumpa lagi di dunia "di seberang senja".

Jakarta, 11 Agustus 2006

karena hidup adalah perjalanan...

sungguh, bagi saya hidup bukan perbuatan, walau ada iklan seorang tokoh politik, yang kebetulan namanya mirip dengan saya, yang berkata bahwa "hidup adalah perbuatan". kadang saya sendiri tidak memahami apa yang ia maksud. sebab, setahu saya, tokoh politik itu justru belum berbuat apa-apa, kecuali mengiklankan diri sembari berkata, "hidup adalah perbuatan". mungkin yang disebut "perbuatan" oleh dia adalah iklan itu?

saya sering heran melihat bagaimana begitu banyak orang (yang sebagian besar saya kenal, malah sudah cukup lama menjadi teman) mengiklankan diri di media elektronik atau cetak, dan berpikir bahwa masyarakat akan menyukai mereka, lalu memilih mereka saat pemilu mendatang. saya kira mereka menjadi korban dari ilusi media tentang diri mereka sendiri. maksud saya, jika seorang mengiklankan diri, katakanlah, sebagai "pemimpin masa depan", lalu melihat tampang dirinya di media massa, boleh jadi mereka lalu berpikir bahwa mereka memang "pemimpin masa depan". itulah bahaya ilusi media!

dan, di tengah kemahakuasaan media sekarang, bahaya ilusi itu semakin terasa pada hampir seluruh aspek kehidupan. iklan adalah contoh paling bagus. atau juga sinetron. mengapa, misalnya, hampir seluruh produk memasang perempuan cantik-seksi-ramping untuk menemaninya? agar, ketika kita melihat iklan itu, diam-diam kita membuka diri bagi daya seduksi si perempuan cantik-seksi-ramping yang (dalam jiwa kita) diasosiasikan dengan produk yang mau dijual. maka, ketika kita membeli produk itu, perasaannya seperti "menguasai" si perempuan cantik-seksi-ramping itu! sungguh ilusif. tetapi nikmat.

dalam kemahakuasaan media, apa yang nyata memang telah menjadi hiper-nyata, menjadi ilusi penuh seduksi...


kegelisahan saya, melihat banyak teman yang berbondong-bondong masuk bursa politik, mendorong saya untuk menulis esai yang kemudian diterbuitkan SINAR HARAPAN (6 Agustus 2008). saya menyebutnya "pasar mesias" (unduh di sini), walau beberapa teman (yang berlatar belakang teologi) protes karena saya memakai istilah "mesias". sudah tentu, saya tidak memandang calon-calon itu sebagai sungguh-sungguh mesias. sebagai orang yang membaca maurice blanchot, saya sadar bahwa mesias, jika benar-benar datang, tidak akan menggembar-gemborkan kedatangannya lewat media massa.


blanchot pernah menulis perumpamaan soal itu (dimuat dalam bukunya, writing of disaster) begini: suatu kali sang mesias datang dan berteman dengan orang-orang miskin di sekitar yerusalem. banyak orang terkejut melihat kedatangannya. ia nampak biasa-biasa saja. dan, sudah tentu, tidak ada kiamat. hidup berjalan, mengalir seperti biasa. kata orang, "mungkin benar sang mesias sudah tiba. tetapi kami masih menantikannya."


perumpamaan blanchot mau mengatakan bahwa mesias, sesungguhnya, merupakan penantian terbuka. suatu harapan, ketimbang soal apakah ia sungguh-sungguh datang atau tidak. mengimani mesias, karenanya, adalah "mempertaruhkan pengharapan yang ada padamu". dan jika pertaruhan pengharapan itu dilakukan secara kritis dan sistematis, itulah yang disebut praksis ber-teologi.


saya memang sedang berusaha ber-teologi, mempertanggungjawabkan iman dan pengharapan yang ada pada saya di dalam peziarahan ini...