Kamis, 09 September 2010

Di Seberang Senja

Ini tulisan lama yang pernah saya posting di tempat lain. Saya menulisnya ketika ayah menyelesaikan peziarahannya di dunia ini, dan mencapai Sang Misteri yang tak terpermanai. Sengaja saya taruh di sini, sebagai penanda bahwa kita masih berjalan, menyusuri kelak-kelok kehidupan yang serba misterius, menjalani dari satu ambang batas ke ambang batas berikutnya...
===
Di seberang senja...


Dulu Chairil Anwar pernah berujar dalam salah satu sajaknya, "Hidup adalah menunda kekalahan..." Mungkin dia benar, jika dilihat dari sudut pandang kematian. Bukankah sang Maut selalu menanti di ujung perjalanan hidup? Dan kita semua tidak pernah dapat mengelakkannya--apalagi mengalahkannya?

Hari-hari terakhir ayah saya menceritakan hal lain. Hidup baginya bukan menunda kekalahan, tetapi menunda saat agar dia, pada titik terakhir, dapat berkata, seperti Yesus di ujung hidupnya, "Sudah genap!" Pegalaman menemani saat-saat terakhir kehidupannya sungguh bermakna bagi saya. Ijinkan saya membaginya pada Anda. Siapa tahu bisa berguna.

Ayah menghabiskan sisa-sisa terakhir hidupnya di Panti Werdha Kristen "Hana", di daerah Kedaung, Ciputat. Itu memang pilihannya sendiri, setelah tahu betapa sulit jika dia tinggal entah bersama saya atau kakak saya. Perbedaan generasi yang sangat jauh, terutama dengan anak-anak kami, terbukti sangat sulit dijembatani, dan banyak menimbulkan salah paham yang menyakitkan. Suatu waktu, kami menyarankan tempat di PWK "Hana" padanya. Dengan seketika ia menyukai tempat itu. Di sana, selain perawat yang selalu siap sedia setiap saat, dia dapat bertemu dan ngobrol tentang masa lalu bersama orang-orang yang seusia dengannya. Dan itulah yang sangat dibutuhkannya: orang yang tidak hanya mau mendengar kisahnya, tetapi juga ikut serta dalam banyak peristiwa di masa lampau yang ia alami. Sejak saat itu dia tidak lagi mau pulang ke rumah kami, sebab dia telah menemukan komunitasnya dan, serentak dengan itu pula, "dunia" yang pernah ia kenal sebelumnya.

Akhir Februari lalu, ayah jatuh tergelincir. Pangkal pahanya retak. Kami berkonsultasi dengan dokter, apakah dia perlu dioperasi. Dokter menyarankan tidak. Usianya sudah terlalu lanjut, sehingga tindakan medis apapun--apalagi operasi!--tidak akan banyak membantu, bahkan dapat membahayakan jiwanya. Sejak itu ayah harus terbaring di ranjang, dan perlahan-lahan kondisi tubuhnya melemah. Awal Juli lalu kami harus membawanya ke RS Bintaro untuk mendapat transfusi darah, karena Hb-nya turun drastis. Sejak saat itu kami sadar, hari-hari akhir ayah sudah semakin dekat.

Dua minggu lalu ayah mengalami krisis. Nafasnya sesak, dan dia tidak mau makan. Dokter harus memasang selang bantu agar ia dapat makan. Ketika saya mengunjunginya, saya melihat tubuhnya yang dulu besar dan kekar (waktu saya kecil, ia sering menggendong saya) semakin keriput, hanya tersisa tulang belulang dan banyak luka di bagian belakang tubuhnya karena harus berbaring lama. Saya seperti melihat orang lain, bukan ayah yang pernah saya kenal. Tubuh itu sudah sedemikian rapuh, tergeletak tanpa daya dan tenaga di ranjang. Hati saya menjerit, "Tuhan, jika memang sudah saatnya, semoga itu semua berjalan tanpa harus melalui penderitaan yang panjang." Saya berbisik padanya, bahwa semua anak dan cucunya akan berkumpul tanggal 6 Agustus nanti untuk berdoa baginya. Ia mengangguk lemah.

Hari Minggu, tanggal 6 Agustus, kami menepati janji. Kami semua--anak-anak, cucu, saudara, menantu, dan lainnya--berkumpul di ruang tempat ayah dirawat, membuat ibadah sederhana. Ayah hampir tidak lagi dapat mengenali kami semua. Ia bahkan tidak lagi mampu ikut menyanyikan lagu gereja yang sangat disukainya. Pandangannya menerawang jauh, seakan-akan melihat dunia di seberang sana. Selesai berdoa, saya berbisik padanya: "Ayah, jika saatnya sudah tiba, pergilah dalam damai. Pergilah, karena ayah nanti akan bertemu kembali dengan Ibu dan Sri Ekawati. Kami semua sudah siap dan merelakan ayah kembali pada Tuhan." Saya melihat matanya basah. Mungkin ia menangis. Mungkin cuma karena keringatnya saja.

Senin sore, 7 Agustus, tepat 24 jam setelah ibadah itu, ayah tertidur lelap dan tidak bangun lagi. Ia sudah pergi, menjalani perjalanan lain menuju Penciptanya--perjalanan yang masih dan akan selalu menjadi misteri bagi kita, manusia yang terikat ruang dan waktu ini.

Saya yakin, ayah hanya menantikan saat-saat terakhir itu: ibadah yang menandai kerelaan kami, anak-anaknya, untuk membiarkan ia pergi mengarungi perjalanan baru menuju Penciptanya. Saya tidak tahu persis apakah dia akan bertemu lagi isterinya dan Sri Ekawati, kakak perempuan saya--dua orang yang sangat dicintainya, yang sudah lama mendahului dia--di dunia di seberang sana yang selalu merupakan misteri bagi kita. Mungkin memang begitu. Mungkin juga tidak. Sesungguhnya tidak ada satu orang pun yang tahu pasti. Tetapi gagasan bahwa ada pertemuan kembali di dunia seberang sana--the world beyond the sunset, kata sebuah syair lagu gerejawi--bisa menjadi sumber penghiburan yang sangat dibutuhkan, agar kematian--dan karenanya juga: kehidupan!-- tidak lagi absurd. Agar kehidupan tidak lagi sekadar "menunda kekalahan". Konon, karena alasan yang sama, kata Nietzsche, orang Yunani membuat "Tragedi".

Yang jelas, saat-saat terakhir hidup ayah bukanlah "menunda kekalahan", tetapi suatu penundaan sesaat agar dia dapat berkata, di ujung hidupnya, "Sudah genap!"

Selamat jalan, ayah. Semoga, suatu waktu, kita berjumpa lagi di dunia "di seberang senja".

Jakarta, 11 Agustus 2006

karena hidup adalah perjalanan...

sungguh, bagi saya hidup bukan perbuatan, walau ada iklan seorang tokoh politik, yang kebetulan namanya mirip dengan saya, yang berkata bahwa "hidup adalah perbuatan". kadang saya sendiri tidak memahami apa yang ia maksud. sebab, setahu saya, tokoh politik itu justru belum berbuat apa-apa, kecuali mengiklankan diri sembari berkata, "hidup adalah perbuatan". mungkin yang disebut "perbuatan" oleh dia adalah iklan itu?

saya sering heran melihat bagaimana begitu banyak orang (yang sebagian besar saya kenal, malah sudah cukup lama menjadi teman) mengiklankan diri di media elektronik atau cetak, dan berpikir bahwa masyarakat akan menyukai mereka, lalu memilih mereka saat pemilu mendatang. saya kira mereka menjadi korban dari ilusi media tentang diri mereka sendiri. maksud saya, jika seorang mengiklankan diri, katakanlah, sebagai "pemimpin masa depan", lalu melihat tampang dirinya di media massa, boleh jadi mereka lalu berpikir bahwa mereka memang "pemimpin masa depan". itulah bahaya ilusi media!

dan, di tengah kemahakuasaan media sekarang, bahaya ilusi itu semakin terasa pada hampir seluruh aspek kehidupan. iklan adalah contoh paling bagus. atau juga sinetron. mengapa, misalnya, hampir seluruh produk memasang perempuan cantik-seksi-ramping untuk menemaninya? agar, ketika kita melihat iklan itu, diam-diam kita membuka diri bagi daya seduksi si perempuan cantik-seksi-ramping yang (dalam jiwa kita) diasosiasikan dengan produk yang mau dijual. maka, ketika kita membeli produk itu, perasaannya seperti "menguasai" si perempuan cantik-seksi-ramping itu! sungguh ilusif. tetapi nikmat.

dalam kemahakuasaan media, apa yang nyata memang telah menjadi hiper-nyata, menjadi ilusi penuh seduksi...


kegelisahan saya, melihat banyak teman yang berbondong-bondong masuk bursa politik, mendorong saya untuk menulis esai yang kemudian diterbuitkan SINAR HARAPAN (6 Agustus 2008). saya menyebutnya "pasar mesias" (unduh di sini), walau beberapa teman (yang berlatar belakang teologi) protes karena saya memakai istilah "mesias". sudah tentu, saya tidak memandang calon-calon itu sebagai sungguh-sungguh mesias. sebagai orang yang membaca maurice blanchot, saya sadar bahwa mesias, jika benar-benar datang, tidak akan menggembar-gemborkan kedatangannya lewat media massa.


blanchot pernah menulis perumpamaan soal itu (dimuat dalam bukunya, writing of disaster) begini: suatu kali sang mesias datang dan berteman dengan orang-orang miskin di sekitar yerusalem. banyak orang terkejut melihat kedatangannya. ia nampak biasa-biasa saja. dan, sudah tentu, tidak ada kiamat. hidup berjalan, mengalir seperti biasa. kata orang, "mungkin benar sang mesias sudah tiba. tetapi kami masih menantikannya."


perumpamaan blanchot mau mengatakan bahwa mesias, sesungguhnya, merupakan penantian terbuka. suatu harapan, ketimbang soal apakah ia sungguh-sungguh datang atau tidak. mengimani mesias, karenanya, adalah "mempertaruhkan pengharapan yang ada padamu". dan jika pertaruhan pengharapan itu dilakukan secara kritis dan sistematis, itulah yang disebut praksis ber-teologi.


saya memang sedang berusaha ber-teologi, mempertanggungjawabkan iman dan pengharapan yang ada pada saya di dalam peziarahan ini...