Senin, 11 Oktober 2010

Mengharapkan Dua Mukjizat

Catatan ini saya buat di tengah rasa gundah dan kebimbangan yang menggalaukan hati. Boleh jadi, menuliskannya seperti mendaraskan doa sembari mempertaruhkan iman dan harapan bahwa mukjizat memang masih mungkin terjadi.

Sebab perkembangan situasi akhir-akhir ini sungguh membuat hampir seluruh asa putus. Impian tentang "proyek-bersama" yang bernama Indonesia sedang digugat sampai ke akar-akarnya. Serangkaian kekerasan yang terus terjadi, praktik-praktik intoleran yang makin meluas, dan bahkan "politik segregasi" yang mulai menampakkan wajah konkretnya, sungguh menimbulkan tanya tanpa jawaban: apakah Indonesia sebagai rumah bersama semua kelompok, apapun perbedaannya, masih mungkin dibangun?

Berita hari ini dari MetroTV News, misalnya, membuat saya terperangah. Sekitar 50 keluarga, warga Ahmadiyah, yang dipaksa jadi pengungsi di negara sendiri --saya ulangi: pengungsi di negara sendiri!-- di Lombok Barat akan direlokasi di sebuah pulau oleh pihak Pemda. Bagaimana kebijakan semacam itu dapat terbayangkan di dunia sekarang, dunia yang justru sudah meruntuhkan batas-batas antar-bangsa dan bahkan antar-negara? Bukankah ini bentuk konkret dari politik dan praktik segregasi yang hanya dilakukan oleh kelompok fasis, entah dulu oleh rezim Hitler-Nazi maupun sekarang oleh pemerintah Israel terhadap Palestina? Untuk apa negara dengan seluruh aparatusnya ada jika tidak dapat menjamin kehidupan-bersama antar-kelompok masyarakat, dan bukan malah memisahkannya?

Berita itu sungguh menggelisahkan saya, sebab yang dipertaruhkan secara radikal adalah cita-cita maupun peluang bagi masyarakat majemuk yang menjadi proyek-bersama Indonesia. Memang saya tidak terkejut bahwa gagasan politik segregatif itu akhirnya mencuat ke permukaan. Kajian saya tentang politik perukunan rezim Orde Baru membuat saya sadar, ujung paling jauh dari politik perukunan itu adalah kebijakan segregatif. Tapi melihat perkembangan sekarang, rasanya hanya mukjizat Ilahi yang masih memungkinkan ke-Indonesia-an dibangun.

Pada saat bersamaan, saya juga berdoa memohon mukjizat kedua untuk sahabat, rekan, guru, maupun figur panutan yang selama ini saya hormati: Asmara Nababan. Sudah sejak beberapa tahun terakhir, ia bergulat dengan kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya. Operasi yang dijalani sekitar dua tahun lalu tidak mampu memberantas kanker yang bersarang, dan malah merangsang pertumbuhannya. Kini kanker itu menyebar ke seluruh tubuhnya yang makin rapuh.

Di antara banyak sahabatnya, saya termasuk orang yang tidak terlalu dekat dengan Asmara. Kami mulai agak intensif berinteraksi, bertukar pikiran, dan bekerja sama sejak saya diminta masuk menjadi anggota Badan Pengurus DEMOS. Tapi sudah lama saya mengagumi sepak terjang, dedikasi dan keberaniannya memperjuangkan proyek-bersama Indonesia. Dialah yang meyakinkan saya bahwa jalan demokrasi akan sia-sia jika tidak dilandaskan pada kontrol konkret warga yang sadar ("demos") serta penghormatan pada hak asasi manusia, dua gagasan yang kini kental mewarnai cara pandang saya.

Siang tadi, bersama teman-teman DEMOS, saya menjenguk Asmara di RS Gading Pluit. Rencananya, Selasa pagi --jika kondisinya memungkinkan-- ia akan terbang ke Guangzhou, Cina, guna menjalani terapi. Tetapi melihat kondisinya, saya masygul dan menjerit dalam hati. Hanya mukjizat-Nya yang kini dibutuhkan. Sebab saya sadar, jika dilihat dari kondisi fisik saja, sungguh sulit Asmara mampu melewati pergulatan kali ini. Satu hal yang membuat saya menangis adalah melihat semangat hidup dan dedikasinya pada DEMOS. Ia masih sempat mengingatkan saya untuk rapat Badan Pengurus akhir bulan ini!

Karena itu saya berdoa dan mempertaruhkan iman serta harapan bahwa mukjizat-Nya memang masih mungkin terjadi. Bagi Indonesia, maupun bagi Asmara Nababan. Tetapi biarlah rencana-Nya saja yang jadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar