Senin, 08 Agustus 2011

Hari Minum Bir Sedunia




Tahun 2007, di Santa Cruz, California, Jesse Ashalomov dan teman-temannya punya ide gila: membuat perayaaan tahunan minum bir sedunia! Sebab ia yakin, "There aren't a lot of things the whole world agrees on, but enjoying Beer is one of them." (http://www.internationalbeerday.com/about/).

Baiklah, mungkin Anda termasuk orang yang tidak setuju dengan pernyataan Ashlomov itu. Saya kira ia memang berlebihan. Minum bir termasuk barang yang tidak semua orang setuju. Sebagian malah mengharamkannya. Tapi toh Ashalomov berjalan dengan idenya. 
"A few years back a group of friends and I decided that there needed to be a day in celebration of all things beer, a day in thanks to the people who produce and provide our favorite beverage."
Begitu katanya. Ia memilih tanggal 5 Agustus, entah karena alasan apa, dan mengajak semua orang di mana saja merayakannya. Setiap orang dapat datang, membeli bir, juga mentraktir temannya, dan menikmati sembari bercanda, tertawa, dan membangun jalinan persahabatan.

Ide sederhana itu, rupanya, menarik perhatian banyak orang. Konon, selain di AS, sekarang Australia, Belarus, Brazil, Canada, Costa Rica, Prancis, Jerman, Ghana, Inggris, Yunani, India, Israel, Malaysia, Mexico, New Zealand, Norwegia, Filipina, Romania, Slovenia, Afrika Selatan, Turkey, dan Venezuela ikut merayakannya. Data ini menurut Wikipedia. Saya tidak tahu apakah Indonesia termasuk merayakan atau tidak. Yang jelas, gagsan Hari Minum Bir Sedunia kini dirayakan di mana-mana.

Menanti giliran minum bir Tahun ini saya menikmati "International Beer Day" di Berlin. Bersama tiga teman, kami menikmati cuaca yang hangat dan minum bir di Karl-Marx Allee, tak jauh dari Alexander Platz. Di sepanjang jalan besar itu (entah apakah ada kaitan antara bir dengan Karl Marx, saya tidak tahu; yang jelas, jalan itu memang dimaksud untuk menghormatinya, dan masuk di wilayah Berlin Timur dulunya), ratusan gerai bir dijejer sepanjang 2 Km!

Ada bir rasa mangga di gerai Afrika Dan saya baru menyadari, bahwa bir, mungkin, salah satu minuman paling kompleks di dunia ini. Ini menyangkut bukan saja soal bahan baku bir, tapi juga proses pembuatan maupun campuran yang sangat khas dan kadang hanya muncul dalam waktu dan musim tertentu. Bagi orang Indonesia yang hanya mengenal jenis Pilsener, jelas akan bingung menghadapi aneka ragam bir: mulai dari weissbier (bir gandum dari Bavaria, Jerman) yang jadi favorit saya, sampai bir darimalt, bir dari mangga (Afrika), termasuk"bir asap" (rauchbier). Yang terakhir ini, konon, karena saat dibuat bir itu memang diasapi, seperti orang mengasapi daging ikan... 

Setiap jenis bir -- saya tidak tahu ada berapa jenis bir di dunia, mungkin ribuan -- punya 'cerita' sendiri. Dan 'cerita' itu, sesungguhnya, mau menyimpan tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya tentang pernak-pernik kehidupan manusiawi yang layak dirayakan dan disyukuri. Sebab bir adalah tradisi manusiawi yang mungkin tak kudus, tapi toh tetap layak dirayakan. Kata Martin Luther, bapak Reformasi, ketika mengkritik pentingnya anggur dalam tradisi gerejawi (1532),
"Der Wein ist gesegnet und hat das Zeignis in der Schrift. Das Bier dagegen ist menschliche Tradition." (Anggur diberkati dan ada kesaksiannya dalam Kitab Suci. Namun Bir, bagaimanapun juga, merupakan tradisi manusiawi.)
Rasanya ia benar. Dan karena itu, orang Jerman selalu menikmati minum bir, merayakan tradisi manusiawi yang serba ringkih dan rapuh, tapi tetap sangat layak dirayakan.

Saya tidak mampu menikmati seluruh gerai sepanjang 2 Km itu. Tetapi di tengah perjalanan, satu hal yang membuat saya bangga: ada bir "Bintang" di antara botol-botol bir dari seluruh dunia. Dan yang lebih membuat saya bangga, di situ ditulis: Bier aus Indonesiche, "Bir dari Indonesia"! Hura!

Bir dari Indonesia

Maka saya menutup perjalanan ini dengan meminum bir Brocardus 1844, jenis weissbieryang punya kandungan alkohol 5,4%, diproduksi Karmeliten. Konon, ini brauerei  (tempat penyulingan) tertua, paling tidak di Hari Minum Bir Sedunia ini, karena sudah ada sejak 1367. Sungguh, bir punya 'cerita' panjang dan kompleks.

Prost!

Sabtu, 01 Januari 2011

Natal 2010: Sebuah Catatan



DALAM waktu yang agak lama, sekadar mengucapkan "Selamat Natal" bagi kaum Muslim di Indonesia menjadi peristiwa politik. Suatu counter-practice terhadap praktik dominan yang mengharamkan ucapan itu. Sebab di balik ucapan sederhana itu, ada semacam bayangan ketakutan -- mungkin sekadar di kepala para birokrat keagamaan -- kalau-kalau umat melakukan pencampuradukan aqidah. Bukankah mengucapkan "Selamat Natal" juga sekaligus berarti mengakui peristiwa inkarnasi Sabda menjadi manusia?

Itu sebabnya saya sering tercenung dan terharu, setiap kali rekan-rekan Muslim mengucapkan "Selamat Natal" pada saya dan keluarga. Tindakan itu seperti counter-practice terhadap ideologi dominan: suatu kesaksian bahwa jalinan persahabatan menembus, menggerogoti dan sekaligus melintasi sekat-sekat pemisahan dan pembedaan antar-agama yang dijaga mati-matian oleh para birokrat keagamaan maupun rezim kekuasaan. Juga tindakan itu mau melecehkan bayang-bayang ketakutan pada pencampuradukan aqidah. Malah, saya cenderung mendaku, itu adalah tindakan sekularisasi dalam arti yang sesungguhnya. Karena lewat tindakan itu, segala pertimbangan aqidah dilewati: jalinan persahabatan tidak memerlukan aturan-aturan hukum agama yang kerap malah memisahkan, ketimbang menyatukan.

Pengalaman Natal 2010 memberi bentuk konkret pada pendakuan saya itu. Pdt Albertus Patty, sahabat saya di GKI Maulana Yusuf, mengambil inisiatif yang bahkan melampaui segala kemungkinan: suatu ibadah Natal yang sengaja dirancang bersifat antar-agama! Ia mengundang Fariz RM, musikus kondang Bandung, grup qasidahan ar-Rahman, Yanti Kerlip dan Ulil Abshar-Abdalla untuk ikut serta dalam seluruh seluk beluk kebaktian Natal, dan berpartisipasi di dalamnya. Dan ia menyebut ini sebagai "langkah kecil" untuk menyemai kembali benih-benih persahabatan, jalinan cinta kasih dan saling menghormati, yang selama ini makin terkikis dari kehidupan di negara ini.



Boleh jadi, eksperimen GKI Maulana Yusuf bukan yang pertama. Saya tidak tahu persis apakah pernah ada di Indonesia langkah serupa sebelumnya. Namun, yang jelas, apa yang dilakukan GKI Maulana Yusuf akan dikenang sebagai terobosan penting. Dengan langkah itu, ditawarkan cara baru untuk menghayati pengalaman keagamaan: ibadah yang selama ini hanya dapat dibagikan dalam komunitas tertentu kini justru menjadi pintu bagi proses saling berbagi antar-komunitas.

Di situ segala pertimbangan dogmatis dilangkaui. Orang tidak lagi berbicara tentang rumusan-rumusan ajaran yang serba ketat dan kaku mengenai apa itu Natal. Ini hanya sekadar kesibukan para birokrat keagamaan yang mungkin diperlukan, namun jelas tidak memadai. Sebab rumusan-rumusan dogmatis hanyalah penanda-penanda pada proses yang selalu merupakan misteri yang tak terbahasakan. Alih-alih dari itu, pengalaman ibadah-lintas-agama membuka ruang bagi permenungan dan pemahaman teologis yang baru: Justru karena Natal adalah jawaban "Ya" yang radikal dari kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya, maka seyogianya perjumpaan dengan kehadiran Allah dalam Bayi mungil di Nazareth harus menjadi pengalaman bersama yang melintasi sekat-sekat antar-ras, antar-suku, antar-bangsa, antar-kepercayaan, maupun antar-agama. Di situ, lagu Joy to the World dapat berpadu dengan Shalawat Nabi, dan bacaan Injil saling berkelindan dengan renungan Qur'ani. Dalam setiap teks-teks yang dibacakan (atau juga dinyanyikan), kita  menemukan jejak-jejak Sang Misteri yang melangkaui segala upaya pembahasaan, dan mengundang kita menziarahi hidup di dalam ikatan cinta dan persahabatan.


Dan itu semua menantang bukan hanya pemahaman tentang apa arti pengalaman keberagamaan yang umum, tetapi juga apa arti iman, dan apa arti menjadi komunitas beriman yang dipanggil ke luar (gereja). Saya malah menengarai, perspektif teologis yang disibak lewat langkah eksperimental GKI Maulana Yusuf dapat menyumbang penting pada bagaimana memahami Ekumene -- bukan sekadar melintasi batas-batas tembok gerejawi, tetapi menjangkau pada keseluruhan "Oikos" Allah sendiri. Bukankah kita, setidaknya para pewaris tradisi keimanan Abraham, mengaku percaya bahwa kita semua adalah anak-anak Allah yang sedang dalam perjalanan kembali pada-Nya?

Natal 2010 hanyalah titik awal. Tetapi, saya kira, sungguh patut disyukuri karena kemungkinan-kemungkinan yang disibakkan oleh peristiwa itu akan bergema entah sampai kapan. Terima kasih untuk undangan yang memungkinkan saya mengalaminya.

Selamat mengarungi peziarahan baru!