Kamis, 09 September 2010

karena hidup adalah perjalanan...

sungguh, bagi saya hidup bukan perbuatan, walau ada iklan seorang tokoh politik, yang kebetulan namanya mirip dengan saya, yang berkata bahwa "hidup adalah perbuatan". kadang saya sendiri tidak memahami apa yang ia maksud. sebab, setahu saya, tokoh politik itu justru belum berbuat apa-apa, kecuali mengiklankan diri sembari berkata, "hidup adalah perbuatan". mungkin yang disebut "perbuatan" oleh dia adalah iklan itu?

saya sering heran melihat bagaimana begitu banyak orang (yang sebagian besar saya kenal, malah sudah cukup lama menjadi teman) mengiklankan diri di media elektronik atau cetak, dan berpikir bahwa masyarakat akan menyukai mereka, lalu memilih mereka saat pemilu mendatang. saya kira mereka menjadi korban dari ilusi media tentang diri mereka sendiri. maksud saya, jika seorang mengiklankan diri, katakanlah, sebagai "pemimpin masa depan", lalu melihat tampang dirinya di media massa, boleh jadi mereka lalu berpikir bahwa mereka memang "pemimpin masa depan". itulah bahaya ilusi media!

dan, di tengah kemahakuasaan media sekarang, bahaya ilusi itu semakin terasa pada hampir seluruh aspek kehidupan. iklan adalah contoh paling bagus. atau juga sinetron. mengapa, misalnya, hampir seluruh produk memasang perempuan cantik-seksi-ramping untuk menemaninya? agar, ketika kita melihat iklan itu, diam-diam kita membuka diri bagi daya seduksi si perempuan cantik-seksi-ramping yang (dalam jiwa kita) diasosiasikan dengan produk yang mau dijual. maka, ketika kita membeli produk itu, perasaannya seperti "menguasai" si perempuan cantik-seksi-ramping itu! sungguh ilusif. tetapi nikmat.

dalam kemahakuasaan media, apa yang nyata memang telah menjadi hiper-nyata, menjadi ilusi penuh seduksi...


kegelisahan saya, melihat banyak teman yang berbondong-bondong masuk bursa politik, mendorong saya untuk menulis esai yang kemudian diterbuitkan SINAR HARAPAN (6 Agustus 2008). saya menyebutnya "pasar mesias" (unduh di sini), walau beberapa teman (yang berlatar belakang teologi) protes karena saya memakai istilah "mesias". sudah tentu, saya tidak memandang calon-calon itu sebagai sungguh-sungguh mesias. sebagai orang yang membaca maurice blanchot, saya sadar bahwa mesias, jika benar-benar datang, tidak akan menggembar-gemborkan kedatangannya lewat media massa.


blanchot pernah menulis perumpamaan soal itu (dimuat dalam bukunya, writing of disaster) begini: suatu kali sang mesias datang dan berteman dengan orang-orang miskin di sekitar yerusalem. banyak orang terkejut melihat kedatangannya. ia nampak biasa-biasa saja. dan, sudah tentu, tidak ada kiamat. hidup berjalan, mengalir seperti biasa. kata orang, "mungkin benar sang mesias sudah tiba. tetapi kami masih menantikannya."


perumpamaan blanchot mau mengatakan bahwa mesias, sesungguhnya, merupakan penantian terbuka. suatu harapan, ketimbang soal apakah ia sungguh-sungguh datang atau tidak. mengimani mesias, karenanya, adalah "mempertaruhkan pengharapan yang ada padamu". dan jika pertaruhan pengharapan itu dilakukan secara kritis dan sistematis, itulah yang disebut praksis ber-teologi.


saya memang sedang berusaha ber-teologi, mempertanggungjawabkan iman dan pengharapan yang ada pada saya di dalam peziarahan ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar