Jumat, 15 Juni 2012

Kau

Pada batasbatas sepi ini seseorang menyebut namakau:
Betapa jauh jarak kita!
Aku merabaraba dalam kabut di sini
Mengendus bau tubuhkau yang makin samar

Siapa kau? Mengapa wajahkau selalu membayang
samar, walau kabut menciptakan labirin antar kita?
Siapa kau? Mengapa bau tubuhkau selalu sampai
lamatlamat menyeberangi sepi yang memisahkan kita?

Pada batasbatas sepi ini masih juga kusebut namakau

(2012)

Senin, 08 Agustus 2011

Hari Minum Bir Sedunia




Tahun 2007, di Santa Cruz, California, Jesse Ashalomov dan teman-temannya punya ide gila: membuat perayaaan tahunan minum bir sedunia! Sebab ia yakin, "There aren't a lot of things the whole world agrees on, but enjoying Beer is one of them." (http://www.internationalbeerday.com/about/).

Baiklah, mungkin Anda termasuk orang yang tidak setuju dengan pernyataan Ashlomov itu. Saya kira ia memang berlebihan. Minum bir termasuk barang yang tidak semua orang setuju. Sebagian malah mengharamkannya. Tapi toh Ashalomov berjalan dengan idenya. 
"A few years back a group of friends and I decided that there needed to be a day in celebration of all things beer, a day in thanks to the people who produce and provide our favorite beverage."
Begitu katanya. Ia memilih tanggal 5 Agustus, entah karena alasan apa, dan mengajak semua orang di mana saja merayakannya. Setiap orang dapat datang, membeli bir, juga mentraktir temannya, dan menikmati sembari bercanda, tertawa, dan membangun jalinan persahabatan.

Ide sederhana itu, rupanya, menarik perhatian banyak orang. Konon, selain di AS, sekarang Australia, Belarus, Brazil, Canada, Costa Rica, Prancis, Jerman, Ghana, Inggris, Yunani, India, Israel, Malaysia, Mexico, New Zealand, Norwegia, Filipina, Romania, Slovenia, Afrika Selatan, Turkey, dan Venezuela ikut merayakannya. Data ini menurut Wikipedia. Saya tidak tahu apakah Indonesia termasuk merayakan atau tidak. Yang jelas, gagsan Hari Minum Bir Sedunia kini dirayakan di mana-mana.

Menanti giliran minum bir Tahun ini saya menikmati "International Beer Day" di Berlin. Bersama tiga teman, kami menikmati cuaca yang hangat dan minum bir di Karl-Marx Allee, tak jauh dari Alexander Platz. Di sepanjang jalan besar itu (entah apakah ada kaitan antara bir dengan Karl Marx, saya tidak tahu; yang jelas, jalan itu memang dimaksud untuk menghormatinya, dan masuk di wilayah Berlin Timur dulunya), ratusan gerai bir dijejer sepanjang 2 Km!

Ada bir rasa mangga di gerai Afrika Dan saya baru menyadari, bahwa bir, mungkin, salah satu minuman paling kompleks di dunia ini. Ini menyangkut bukan saja soal bahan baku bir, tapi juga proses pembuatan maupun campuran yang sangat khas dan kadang hanya muncul dalam waktu dan musim tertentu. Bagi orang Indonesia yang hanya mengenal jenis Pilsener, jelas akan bingung menghadapi aneka ragam bir: mulai dari weissbier (bir gandum dari Bavaria, Jerman) yang jadi favorit saya, sampai bir darimalt, bir dari mangga (Afrika), termasuk"bir asap" (rauchbier). Yang terakhir ini, konon, karena saat dibuat bir itu memang diasapi, seperti orang mengasapi daging ikan... 

Setiap jenis bir -- saya tidak tahu ada berapa jenis bir di dunia, mungkin ribuan -- punya 'cerita' sendiri. Dan 'cerita' itu, sesungguhnya, mau menyimpan tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya tentang pernak-pernik kehidupan manusiawi yang layak dirayakan dan disyukuri. Sebab bir adalah tradisi manusiawi yang mungkin tak kudus, tapi toh tetap layak dirayakan. Kata Martin Luther, bapak Reformasi, ketika mengkritik pentingnya anggur dalam tradisi gerejawi (1532),
"Der Wein ist gesegnet und hat das Zeignis in der Schrift. Das Bier dagegen ist menschliche Tradition." (Anggur diberkati dan ada kesaksiannya dalam Kitab Suci. Namun Bir, bagaimanapun juga, merupakan tradisi manusiawi.)
Rasanya ia benar. Dan karena itu, orang Jerman selalu menikmati minum bir, merayakan tradisi manusiawi yang serba ringkih dan rapuh, tapi tetap sangat layak dirayakan.

Saya tidak mampu menikmati seluruh gerai sepanjang 2 Km itu. Tetapi di tengah perjalanan, satu hal yang membuat saya bangga: ada bir "Bintang" di antara botol-botol bir dari seluruh dunia. Dan yang lebih membuat saya bangga, di situ ditulis: Bier aus Indonesiche, "Bir dari Indonesia"! Hura!

Bir dari Indonesia

Maka saya menutup perjalanan ini dengan meminum bir Brocardus 1844, jenis weissbieryang punya kandungan alkohol 5,4%, diproduksi Karmeliten. Konon, ini brauerei  (tempat penyulingan) tertua, paling tidak di Hari Minum Bir Sedunia ini, karena sudah ada sejak 1367. Sungguh, bir punya 'cerita' panjang dan kompleks.

Prost!

Sabtu, 01 Januari 2011

Natal 2010: Sebuah Catatan



DALAM waktu yang agak lama, sekadar mengucapkan "Selamat Natal" bagi kaum Muslim di Indonesia menjadi peristiwa politik. Suatu counter-practice terhadap praktik dominan yang mengharamkan ucapan itu. Sebab di balik ucapan sederhana itu, ada semacam bayangan ketakutan -- mungkin sekadar di kepala para birokrat keagamaan -- kalau-kalau umat melakukan pencampuradukan aqidah. Bukankah mengucapkan "Selamat Natal" juga sekaligus berarti mengakui peristiwa inkarnasi Sabda menjadi manusia?

Itu sebabnya saya sering tercenung dan terharu, setiap kali rekan-rekan Muslim mengucapkan "Selamat Natal" pada saya dan keluarga. Tindakan itu seperti counter-practice terhadap ideologi dominan: suatu kesaksian bahwa jalinan persahabatan menembus, menggerogoti dan sekaligus melintasi sekat-sekat pemisahan dan pembedaan antar-agama yang dijaga mati-matian oleh para birokrat keagamaan maupun rezim kekuasaan. Juga tindakan itu mau melecehkan bayang-bayang ketakutan pada pencampuradukan aqidah. Malah, saya cenderung mendaku, itu adalah tindakan sekularisasi dalam arti yang sesungguhnya. Karena lewat tindakan itu, segala pertimbangan aqidah dilewati: jalinan persahabatan tidak memerlukan aturan-aturan hukum agama yang kerap malah memisahkan, ketimbang menyatukan.

Pengalaman Natal 2010 memberi bentuk konkret pada pendakuan saya itu. Pdt Albertus Patty, sahabat saya di GKI Maulana Yusuf, mengambil inisiatif yang bahkan melampaui segala kemungkinan: suatu ibadah Natal yang sengaja dirancang bersifat antar-agama! Ia mengundang Fariz RM, musikus kondang Bandung, grup qasidahan ar-Rahman, Yanti Kerlip dan Ulil Abshar-Abdalla untuk ikut serta dalam seluruh seluk beluk kebaktian Natal, dan berpartisipasi di dalamnya. Dan ia menyebut ini sebagai "langkah kecil" untuk menyemai kembali benih-benih persahabatan, jalinan cinta kasih dan saling menghormati, yang selama ini makin terkikis dari kehidupan di negara ini.



Boleh jadi, eksperimen GKI Maulana Yusuf bukan yang pertama. Saya tidak tahu persis apakah pernah ada di Indonesia langkah serupa sebelumnya. Namun, yang jelas, apa yang dilakukan GKI Maulana Yusuf akan dikenang sebagai terobosan penting. Dengan langkah itu, ditawarkan cara baru untuk menghayati pengalaman keagamaan: ibadah yang selama ini hanya dapat dibagikan dalam komunitas tertentu kini justru menjadi pintu bagi proses saling berbagi antar-komunitas.

Di situ segala pertimbangan dogmatis dilangkaui. Orang tidak lagi berbicara tentang rumusan-rumusan ajaran yang serba ketat dan kaku mengenai apa itu Natal. Ini hanya sekadar kesibukan para birokrat keagamaan yang mungkin diperlukan, namun jelas tidak memadai. Sebab rumusan-rumusan dogmatis hanyalah penanda-penanda pada proses yang selalu merupakan misteri yang tak terbahasakan. Alih-alih dari itu, pengalaman ibadah-lintas-agama membuka ruang bagi permenungan dan pemahaman teologis yang baru: Justru karena Natal adalah jawaban "Ya" yang radikal dari kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya, maka seyogianya perjumpaan dengan kehadiran Allah dalam Bayi mungil di Nazareth harus menjadi pengalaman bersama yang melintasi sekat-sekat antar-ras, antar-suku, antar-bangsa, antar-kepercayaan, maupun antar-agama. Di situ, lagu Joy to the World dapat berpadu dengan Shalawat Nabi, dan bacaan Injil saling berkelindan dengan renungan Qur'ani. Dalam setiap teks-teks yang dibacakan (atau juga dinyanyikan), kita  menemukan jejak-jejak Sang Misteri yang melangkaui segala upaya pembahasaan, dan mengundang kita menziarahi hidup di dalam ikatan cinta dan persahabatan.


Dan itu semua menantang bukan hanya pemahaman tentang apa arti pengalaman keberagamaan yang umum, tetapi juga apa arti iman, dan apa arti menjadi komunitas beriman yang dipanggil ke luar (gereja). Saya malah menengarai, perspektif teologis yang disibak lewat langkah eksperimental GKI Maulana Yusuf dapat menyumbang penting pada bagaimana memahami Ekumene -- bukan sekadar melintasi batas-batas tembok gerejawi, tetapi menjangkau pada keseluruhan "Oikos" Allah sendiri. Bukankah kita, setidaknya para pewaris tradisi keimanan Abraham, mengaku percaya bahwa kita semua adalah anak-anak Allah yang sedang dalam perjalanan kembali pada-Nya?

Natal 2010 hanyalah titik awal. Tetapi, saya kira, sungguh patut disyukuri karena kemungkinan-kemungkinan yang disibakkan oleh peristiwa itu akan bergema entah sampai kapan. Terima kasih untuk undangan yang memungkinkan saya mengalaminya.

Selamat mengarungi peziarahan baru!

Senin, 08 November 2010

In Memoriam Asmara Nababan


Demokrasi Sebagai Janji
In Memoriam Asmara Nababan

Pada akhirnya Bang As -- begitu biasa kami memanggil Asmara Nababan -- menyerah. Di Guang Zhou, China, ia menghembuskan nafas terakhir pada hari Sumpah Pemuda setelah bergulat dengan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Ia sudah "menyelesaikan pertandingan dengan baik", memakai istilah Paulus, dan kembali ke rumah Bapa yang sangat dicintainya.

Sulit sekali bagi saya menuliskan kenangan tentang Bang As. Dibanding banyak sahabatnya, saya termasuk orang yang tidak terlalu dekat dengannya. Selalu ada jarak di antara kami, karena saya melihat dia lebih sebagai figur panutan yang saya kagumi dari jauh. Apalagi sepak terjangnya sebagai Sekjen Komnas HAM. Di tangannya, lembaga yang pernah dicibir karena didirikan oleh pemerintahan rezim Soeharto itu, justru berkibar dan menjadi mercu suar perjuangan hak-hak asasi manusia.

Hanya sesekali kami berjumpa di forum diskusi, atau saat menyuarakan sikap menghadapi kasus-kasus tertentu. Dan selalu saya mengambil jarak, mengagumi dari jauh lontaran gagasan maupun ketajaman pikirannya, apalagi integritas pribadinya.

Terus terang, saya tidak berani terlalu mendekat, apalagi berdiri sejajar dengannya. Ia memang sosok idola saya, sama seperti almarhum Eka Darmaputera, Th. Sumartana, Gus Dur, Romo Mangun, Pramoedya maupun Soedjatmoko. Pada setiap pribadi itu, saya seakan menemukan jejak-jejak evolusi peradaban yang membingkai proses meng-Indonesia yang belum selesai. Setiap pribadi adalah tonggak penanda, sekaligus "janji" bahwa Indonesia sebagai cita-cita masih sangat layak diperjuangkan.

Asmara pantas disejajarkan dengan mereka. Pengabdiannya yang tulus bagi perjuangan HAM, dan integritas pribadinya, meninggalkan jejak sekaligus tolok ukur sampai sejauh mana pemuliaan martabat manusia Indonesia sudah diupayakan. Ketegasan komitmen dan pengabdian tanpa pamrih yang dijalani seumur hidupnya merupakan saksi sejarah yang tak dapat dihapus.

Kami mulai dekat dan sering bertukar pikiran semenjak Bang As meminta saya ikut mengelola DEMOS. Pengalaman itu membuat saya sadar bahwa DEMOS bukanlah sekadar lembaga, tetapi menjadi kristalisasi dari seluruh keprihatinan Bang As selama ini: DEMOS merupakan pertaruhan paripurnanya! Karena dalam lembaga inilah, dua jalinan penting yang memintal kehidupan dan perjuangannya menggumpal: Demokrasi dan HAM.

Dan keduanya, seperti berulang kali ia tegaskan, tidak boleh dipisahkan. Demokrasi tanpa penghormatan terhadap HAM akan dengan sangat mudah menjadi tirani mayoritas di mana "the winner takes all", dan menafikan kelompok-kelompok minoritas yang rentan. Karena itu, perjuangan bagi demokrasi pada dasarnya merupakan perjuangan demi penegakkan hak asasi manusia, bukan sekadar utak-atik prosedur, mekanisme maupun jumlah suara. Dan ini, pada gilirannya, mengandaikan keterlibatan masyarakat (yakni "demos", δῆμος) yang sadar akan hak-haknya dan memiliki kemampuan serta mau memperjuangkannya demi kemashalatan bersama.

Saya kira, itulah warisan terakhir Bang As yang paling berharga. Di tengah hiruk pikuk transisi demokrasi di mana ia terlibat penuh, figur Asmara Nababan menjulang seperti tonggak peringatan bahwa proses demokratisasi tidak akan bermakna jika tidak mampu menciptakan ruang bagi penghormatan terhadap martabat manusia. Itulah titik uji demokrasi yang sesungguhnya, bukan soal hitung cepat atau perolehan suara sesaat yang kerap bersifat ilusif.

Demokrasi, meminjam istilah Jacques Derrida, selalu merupakan "janji" yang mengundang kita untuk terus menerus berusaha menghadirkannya, sekaligus sadar bahwa "janji" itu selalu mrucut dari genggaman kita. Pergulatan dan perjuangan tanpa letih Asmara memperlihatkan bagaimana "janji" itu sungguh hidup dalam sanubari kita sebagai bangsa yang selalu sedang menjadi, dan karenanya selalu menerbitkan harapan.

Selamat jalan, Bang. Selamat beristirahat. Terima kasih karena engkau sudah menunjukkan wajah "janji" itu bagi kami untuk dijalani.

Senin, 11 Oktober 2010

Poem

Love (III)
BY GEORGE HERBERT

Love bade me welcome, yet my soul drew back,
Guilty of dust and sin.
But quick-ey'd Love, observing me grow slack
From my first entrance in,
Drew nearer to me, sweetly questioning
If I lack'd any thing.

"A guest," I answer'd, "worthy to be here";
Love said, "You shall be he."
"I, the unkind, ungrateful? ah my dear,
I cannot look on thee."
Love took my hand, and smiling did reply,
"Who made the eyes but I?"

"Truth, Lord, but I have marr'd them; let my shame
Go where it doth deserve."
"And know you not," says Love, "who bore the blame?"
"My dear, then I will serve."
"You must sit down," says Love, "and taste my meat."
So I did sit and eat.


Betapa sering jejak-jejak-Nya tak lagi dapat dicandra di tengah kegelapan malam dan rasa galau menyiksa. Tetapi Suara itu, yang lembut berkata, "Duduklah dan kecaplah Tubuh dan Darah-Ku" membuat saya sadar, Ia tidak pernah pergi meninggalkan saya seorang diri menziarahi hidup. Maka saya pun duduk, dan menyambut Tubuh dan Darah-Nya lagi. Tuhanku, Allahku. Sahabatku, Kekasihku."Tuhanku / di pintu-Mu aku mengetuk / aku tak bisa berpaling." (Chairil Anwar)

Mengharapkan Dua Mukjizat

Catatan ini saya buat di tengah rasa gundah dan kebimbangan yang menggalaukan hati. Boleh jadi, menuliskannya seperti mendaraskan doa sembari mempertaruhkan iman dan harapan bahwa mukjizat memang masih mungkin terjadi.

Sebab perkembangan situasi akhir-akhir ini sungguh membuat hampir seluruh asa putus. Impian tentang "proyek-bersama" yang bernama Indonesia sedang digugat sampai ke akar-akarnya. Serangkaian kekerasan yang terus terjadi, praktik-praktik intoleran yang makin meluas, dan bahkan "politik segregasi" yang mulai menampakkan wajah konkretnya, sungguh menimbulkan tanya tanpa jawaban: apakah Indonesia sebagai rumah bersama semua kelompok, apapun perbedaannya, masih mungkin dibangun?

Berita hari ini dari MetroTV News, misalnya, membuat saya terperangah. Sekitar 50 keluarga, warga Ahmadiyah, yang dipaksa jadi pengungsi di negara sendiri --saya ulangi: pengungsi di negara sendiri!-- di Lombok Barat akan direlokasi di sebuah pulau oleh pihak Pemda. Bagaimana kebijakan semacam itu dapat terbayangkan di dunia sekarang, dunia yang justru sudah meruntuhkan batas-batas antar-bangsa dan bahkan antar-negara? Bukankah ini bentuk konkret dari politik dan praktik segregasi yang hanya dilakukan oleh kelompok fasis, entah dulu oleh rezim Hitler-Nazi maupun sekarang oleh pemerintah Israel terhadap Palestina? Untuk apa negara dengan seluruh aparatusnya ada jika tidak dapat menjamin kehidupan-bersama antar-kelompok masyarakat, dan bukan malah memisahkannya?

Berita itu sungguh menggelisahkan saya, sebab yang dipertaruhkan secara radikal adalah cita-cita maupun peluang bagi masyarakat majemuk yang menjadi proyek-bersama Indonesia. Memang saya tidak terkejut bahwa gagasan politik segregatif itu akhirnya mencuat ke permukaan. Kajian saya tentang politik perukunan rezim Orde Baru membuat saya sadar, ujung paling jauh dari politik perukunan itu adalah kebijakan segregatif. Tapi melihat perkembangan sekarang, rasanya hanya mukjizat Ilahi yang masih memungkinkan ke-Indonesia-an dibangun.

Pada saat bersamaan, saya juga berdoa memohon mukjizat kedua untuk sahabat, rekan, guru, maupun figur panutan yang selama ini saya hormati: Asmara Nababan. Sudah sejak beberapa tahun terakhir, ia bergulat dengan kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya. Operasi yang dijalani sekitar dua tahun lalu tidak mampu memberantas kanker yang bersarang, dan malah merangsang pertumbuhannya. Kini kanker itu menyebar ke seluruh tubuhnya yang makin rapuh.

Di antara banyak sahabatnya, saya termasuk orang yang tidak terlalu dekat dengan Asmara. Kami mulai agak intensif berinteraksi, bertukar pikiran, dan bekerja sama sejak saya diminta masuk menjadi anggota Badan Pengurus DEMOS. Tapi sudah lama saya mengagumi sepak terjang, dedikasi dan keberaniannya memperjuangkan proyek-bersama Indonesia. Dialah yang meyakinkan saya bahwa jalan demokrasi akan sia-sia jika tidak dilandaskan pada kontrol konkret warga yang sadar ("demos") serta penghormatan pada hak asasi manusia, dua gagasan yang kini kental mewarnai cara pandang saya.

Siang tadi, bersama teman-teman DEMOS, saya menjenguk Asmara di RS Gading Pluit. Rencananya, Selasa pagi --jika kondisinya memungkinkan-- ia akan terbang ke Guangzhou, Cina, guna menjalani terapi. Tetapi melihat kondisinya, saya masygul dan menjerit dalam hati. Hanya mukjizat-Nya yang kini dibutuhkan. Sebab saya sadar, jika dilihat dari kondisi fisik saja, sungguh sulit Asmara mampu melewati pergulatan kali ini. Satu hal yang membuat saya menangis adalah melihat semangat hidup dan dedikasinya pada DEMOS. Ia masih sempat mengingatkan saya untuk rapat Badan Pengurus akhir bulan ini!

Karena itu saya berdoa dan mempertaruhkan iman serta harapan bahwa mukjizat-Nya memang masih mungkin terjadi. Bagi Indonesia, maupun bagi Asmara Nababan. Tetapi biarlah rencana-Nya saja yang jadi.

Jumat, 01 Oktober 2010

Teroris

Kemarin pagi, sebuah bom meledak di dekat pasar Sumber Arta, Kalimalang. Tampaknya bom yang dibawa korban (inisial An.AH, 38 tahun) tak sempat ia ledakkan, entah dengan sasaran apa, tapi keburu meledak dan melukai dirinya sendiri. Korban masih dalam perawatan intensif. Semoga, jika ia sembuh, banyak misteri bisa dikuak. (Ia akhirnya meninggal siang hari, menutup semua misteri dibalik bom rakitan tersebut.)

Tapi yang memukul saya adalah pesan yang ditinggalkan korban dalam secarik kertas. Menurut TempoInteraktif, lelaki itu menulis di secarik kertas: "Ini adalah pembalasan pada kalian sekutu-sekutu setan, membunuh, menghukum mati dan menahan mujahidin. Kami siap mati untuk agama mulia ini."

Apa yang sesungguhnya terjadi dengan bangsa ini? Apa yang sebenarnya sedang berlangsung, baik pada tataran sosial-politik yang luas, maupun pada psykhe orang itu? Siapa itu "sekutu-sekutu setan"? Dan mengapa "agama mulia" butuh pembelaan sampai dengan mengorbankan diri sendiri?

Saya benar-benar merasa bingung. Bangsa ini sudah berjalan ke arah jalan yang tidak lagi dapat dipahami oleh akal sehat.